Orang Jawa Kuno dan Agama Hindu yang Tak Membumi
Masyarakat Jawa sebelum masuknya agama Islam mayoritas adalah pemeluk agama Hindu-Budha. Kedua agama yang berasal dari India ini masuk dan dipakai oleh masyarakat Jawa untuk mengenal konsep-konsep agama yang sebelumnya mereka hanya menyembah roh nenek moyang dan benda-benda yang dianggap magis.
Kerajaan di Jawa sejak zaman klasik pun menggunakan Hindu-Budha sebagai agama resmi kerajaan. Sanjaya membangun kerajaan Medang dengan agama Hindu beraliran Siwa. Kemudian Airlangga pada abad ke-11 berdasarkan Prasasti Pucangan diyakini memeluk agama Hindu Wisnu.
Keyakinan raja-raja Jawa terhadap agama Hindu kemudian dilanjutkan oleh para penerusnya, seperti yang termasyhur adalah Raja Jayabaya yang memeluk agama Hindu di Kerajaan Kadiri, Ken Angrok di Kerajaan Singasari, hingga kemudian Hayam Wuruk Majapahit.
Meskipun Hindu adalah agama yang dianut secara resmi oleh para raja-raja di kerajaan Jawa. Namun fakta mengatakan bahwa masyarakat Jawa pada umumnya tidaklah memeluk agama ini dengan paripurna. Kepercayaan Hindu dan masyarakat Jawa memiliki jarak yang cukup jauh. Mereka terhalang oleh tembok tinggi keraton yang memisahkan antara aristokrat dan masyarakat biasa.
Prof. Simuh dalam buku Islam dan Pergumulan Budaya Jawa mengatakan bahwa intelektualitas agama Hindu pada masa Jawa kuno hanya berkutat pada lingkungan istana saja. Asumsi tersebut diambil dari pernyataan yang dituliskan oleh Prof. Koentjaraningrat dalam bukunya berjudul Kebudayaan Jawa. Begini bunyi kutipannya:
“Kebudayaan intelektual Hindu mungkin telah mendominasi hampir seluruh Asia Selatan dan Asia Tenggara pada waktu itu, tetapi pengaruhnya yang terbesar adalah terhadap masyarakat istana; sedangkan konsep-konsep Hindu hanya sedikit mempengaruhi masyarakat petani di daerah pedesaan yang cara hidupnya barangkali tidak banyak berubah sejak berabad-abad yang lalu.”
Ini membuktikan bahwa agama Hindu yang dibawa dari India ke Indonesia tidak benar-benar merangkul masyarakat kelas bawah. Lantas, apa kepercayaan masyarakat petani Jawa kuno saat para raja dan bangsawan mereka mengenal agama dan intelektual Hindu? Lebih lanjut Prof. Simuh menyatakan bahwa ada dua lapis tradisi budaya Jawa pada masa Jawa kuno.
Pertama adalah tradisi besar yang berkembang di lingkungan istana dan bersifat Hindu-Kejawen. Kedua adalah tradisi kecil atau tradisi petani yang tetap buta huruf dan terpusat pada kepercayaan animisme-dinamisme. Dalam konteks ini, lahirlah konsep ageming aji (pakaian yang mulia) yaitu para aristokrat istana dianggap menggunakan agama Hindu sebagai pakaian untuk melanggengkan kekuasaan di Jawa.